Grace
menatapku dengan kesal dan marah. Wajah cantiknya menyiratkan
ketidakrelaan. Gadis Menado yang setahun ini jadi pacarku, tiba tiba
saja merasa seperti tersengat listrik, saat aku memberitahu akan mengisi
summer holiday ke Bogor.
“Bogor? You are so crazy!” Grace terbelalak. “Mau apa kesana?! Kota macet seperti itu!”
“Memangnya, kamu pernah kesana?”
“Yah, lewat sajalah! Waktu itu aku ada pesta di Puncak! Lewat kota itulah! Macetnya minta ampun!”
“Tapi, aku mesti ke Bogor!”
“Aku heran saja! Bagaimana bisa? Kalau Bali, that’s okay! But, ini Bogor! Mimpi apa kamu semalam? Apa istimewanya Bogor?”
“Aku ingin melihat negeriku, Honey.”
“Damn! Ini tidak masuk akal. Pasti ada alasan lain!”
Aku diam saja. Memang ada alasan lain. Tapi tidak akan aku beritahu dia. Bisa perang dunia keempat.
Grace
gelisah. Tubuh bagian atasnya yang hanya memakai t-shirt ukuran sedada
saja, sehingga kulit putihnya terlihat mencolok mata, dikipas-kipas
dengan kedua tangannya. Udara bulan Juni di University of Kansas,
sangat panas. Berbeda dengan panasnya di kotaku, Surabaya, yang lembab
dan mudah berkeringat. Di Kansas sangat panas dan kering. Daun-daun yang mulai
menguning, dua bulan lagi tinggal menunggu autum session, akan gugur
menimpa areal kampus. Jika sudah musim gugur, suasana kampus akan sangat
semarak dan berwarna-warni, karena itu berarti akan dipenuhi dengan
beragam pakaian musim dingin. Ini yang aku suka, karena tubuh cewek
kampus rata-rata terbalut busana tebal yang unik dan antik. Aku paling
tidak tahan, jika pada summer time seperti sekarang ini, kemana saja
mata memandang, wuaduuuh…
“Bogor..,” Grace menggelengkan kepalanya.
“Malu ‘kan, sebagai warga Indonesia, aku belom pernah ke sana!”
Beberapa
mahasiswa lalu-lalang di areal Lawrence campus. Yang lelaki bule
bertelanjang dada dan memakai celana bermuda. Kaos atau kemejanya
diikatkan di pinggang. Beberapa ada yang menenteng skate board.
Sedangkan cewek kampusnya memakai tank top. Udara kering. Panas
menyengat. Aku dan Grace rebah-rebahan di rumput, di bawah pohon.
“So, kamu tetap tidak mau memberitahu alasannya, kenapa liburan ke Bogor?”
Aku menggeleng.
“Okey, jika itu maumu!” Grace bangkit dan meninggalkanku. Dave, room mate, menertawakanku. Dia juga sama, menyebut aku gila. Dave sendiri sudah punya rencana mengisi summer holiday dengan berjemur di pantai Cancun, Mexico. Kata Dave, cewek Mexico seksi-seksi kalau sudah berbikini di pantai. Apalagi
jika berpesta di pantai malam-malam dengan bir dan hasis! Beberapa
teman Indonesiaku malah memilih bekerja sebagai pelayan di restoran.
Papaku
yang bekerja sebagai diplomat di Chicago juga merasa heran. Bukannya
summer holiday diisi dengan jadi bagpacker; keliling Amerika, ini malah
berlibur ke Bogor. “Kamu ini ada-ada saja, Feb! Kok, malah ke Bogor! Apa
menariknya kota itu!”
Aku tersenyum. “Papa pernah ke Bogor?”
Papa melirik ke Mama. “Pernah nggak, ya?”
“Lewat saja. Sewaktu kita menghadiri seminar di Puncak. Lewat highway…Macetnya minta ampun….”
Grace
juga cuma lewat dan macet juga disebutnya. Dari mama lantas meluncur
gerutuan-gerutuan, bahwa biang kerok negeri kami memang kemacetan.
Itulah yang selalu membuatnya urung pulang; menengok kampung leluhur di
Surabaya.
Aku
anak tunggal. Papa dan Mama tidak tertarik untuk memberiku adik. Mereka
lebih asyik meniti karir. Papa di atase ekonomi, sedangkan Mama aktivis
perempuan di mana saja dia berada. Tulisan-tulisannya
tentang feminisme ala Asia mewarnai koran-koran setempat. Latar belakang
ketimurannya membuat tulisan-tulisannya menarik. Aku pernah membaca
tulisannya tentang emansipasi. Mama menyebut tentang sebuah nama, RA
Kartini. Aku tidak tahu siapa wanita Jawa yang dijadikan istri kedua
itu. Mama menulis, bahwa emansipasi pada dasarnya adalah pemberontakan
kaum perempuan pada hegemoni lelaki. Tapi di Indonesia, hal itu hanyalah
lip service belaka. Sekedar tren atau bahkan semu. Ah, itu bukan urusanku.
Kadang
aku suka menganggap aku ini anak durhaka. Di paspor tertulis warga
negara Indonesia, tapi kalau ditanya tentang kebudayaan negeriku, tak
aku kuasai. Aku lahir di New Zealand. Kata Papa dan Mama, saat umurku
dua tahun, pernah dibawa mereka ke tanah leluhur di Surabaya. Setelah
itu, Papa lebih banyak berpindah-pindah ke negara lain sebagai diplomat.
Paling lama di India, sekitar lima tahun. Aku menghabiskan masa remaja
di New Delhi. Pernah pacaran dua kali dengan gadis India. Setelah itu
setahun di Spanyol, Maroko, dan kini di Chicago. Aku sudah setahun di
Kansas. Kuliah mengambil jurusan ekonomi. Tak ada waktu untuk pulang ke
negeri leluhur. Itu mungkin karena kengerianku saja saat
melihat tayangan-tayangan televisi di CNN; bom di mana-mana. Aku sudah
jadi warga dunia, yang tak mengenal tanah leluhurnya; Indonesia. Papa
dan Mama pernah berjanji, bahwa tahun depan akan berlibur ke Indonesia.
Tapi mereka tidak tertarik menghabiskan hari tua di Indonesia. Mereka
memilih suatu tempat di Italia.
***
Pesawat
American Airways mengepakkan sayapnya, menembus angkasa. Pesawat nanti
akan transit dulu di Dallas, lalu San Fransisco. Dari sini pindah
pesawat ke Singapore Airlines. Pesawat transit lagi di Taipei,
Singapura, dan tujuan terakhir Jakarta, ibu kota negeri leluhurku, yang
belom pernah aku injak. Dua puluh dua jam mengambang di udara!
Menyebalkan!
Dari
kaca jendela, aku melihat Kansas City yang datar; ladang-ladang gandum
menyebar di mana-mana. Warnanya kuning keemasan. Aku juga masih bisa
melihat air mata Grace menitik di depan pintu masuk MCI – Kansas City
International Airport. Aku tadi menghapus air matanya.
“Aku Cuma ke Bogor,” senyumku. “just a week!”
“Aku tahu, seseorang sedang menunggumu disana. A girl!”
“Please, jangan bersikap bodoh! Dewasalah!”
Grace tidak mengangguk. “We’ll see!” dia membalik, “Good bye!”
Aku
tidak menjawab. Aku tatap dia sampai menyeberangi jalan dan menuju
tempat parkir. Sampai dia masuk ke dalam mobil dan pergi. Mungkinkah ini
akhir dari hubungan kami? Grace yang cantik dan manja. Dia tidak beda
denganku, jadi warga dunia. Tapi, dia sering pulang berlibur ke
Indonesia. Tempat yang paling dia gemari selain kampung halamannya;
Menado, adalah Bali. Ke Jakarta? Grace mengacungkan dua jarinya. “ Tidak
tahan macetnya!” begitu alasannya.
Burung
besi terus menembus gumpalan awan-awan, menyusuri garis langit
beribu-ribu mil jauhnya. Ini adalah perjalanan panjang udaraku.
Indonesia, oh, Indonesia. Aku datang padamu. Kalau saja bukan karena
Nicky, gadis SMA, yang sudah jadi sahabatku selama tiga bulan di
internet, aku mungkin tidak akan datang ke Bogor, kota yang katanya
sebagai kota satelit Jakarta.
Aku masih ingat, email terakhir yang Nicky kirim : Bogor adalah kota di mana kami bisa berbahagia. Kota
hujan. Kota yang penuh dengan pohon tua dan ratusan rusa di istana.
Datanglah jika kau mau. Aku akan membuat kamu mencintai negeri leluhurmu.
Ya,
itulah rahasia besarku, kenapa aku sangat ingin pergi ke Bogor. Nicky,
gadis itu. Papa, Mama, apalagi Grace, tidak aku beritahu soal ini.
Konyol. Bahkan Dave, bule dari LA, yang mendambakan gadis Perancis dan
ingin bungee jumping di menara Eiffel.
Nicky, entah kenapa aku tertarik ingin menemui gadis itu. Indonesian girl. Aku tersenyum sendiri. Sepanjang
hidupku, aku baru berpacaran dengan gadis Indonesia, ya, Grace itulah.
Tapi, Grace bukan gadis Indonesia asli. Dia sudah multikultur dan jauh
lebih Amerika ketimbang gadis Amerika sendiri. Dan aku merasa bosan
berpacaran dengan Grace. Tak ada sesuatu yang bisa mengisi relung
hatinya. Hampa. Semu. Seperti jika dia sedang menenggak bir, lalu mabuk
sesaat, setelah dibawa tidur, saat bangun, semua selesai. Tak tersisa.
Aku
rogoh kantung luar tas punggungku. Ada beberapa lembar email dari
Nicky, yang sengaja aku print. Aku baca lagi. Ada satu surat yang
membuatku terusik atau merasa terganggu: Kau beruntung bisa
mendapatkan apa yang kau mau. Semua fasilitas tersedia. Tapi, sadarkah
kau, bahwa uang yang kau dan keluargamu pakai, juga semua keluarga yang
bekerja di KBRI-KBRI seluruh dunia, adalah tak sepadan dengan
kontribusinya terhadap negeri ini. Kau tahu, betapa beratnya hidup di
negeri leluhurmu, yang tak punya status dan kehormatan atau kesempatan
seperti yang kau dapatkan. Kau dan keluarga dengan enak menikmati semua
fasilitas dari negeri leluhurmu, yang sedang sekarat dan carut-marut.
Jika kau lulus kuliah nanti, apakah terpikir akan pulang dan membangun
negeri leluhurmu? Aku yakin tidak.
Ada
yang mengganjal hatiku. Ada yang membuatku penasaran tentang Nicky,
yang wajahnya saja aku tak pernah tahu. Aku coba surfing tentang
negeriku, terutama tentang Bogor. Yang aku dapati seperti ini : Kota
Bogor secara geografis terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi
yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat
kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi,
komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah 11.850 Ha terdiri dari 6
kecamatan, 68 kelurahan.
Itu
saja. Aku pernah coba searching nama “Nicky”. Hanya ada satu nama Nicky
yang populer, penyanyi rock “Nicky Astria”. Tak ada lagi. Berarti
“Nicky”-ku adalah orang kebanyakan. Rakyat biasa. Apa dia perempuan? Aku pikir, iya. Aku bisa merasakannya dari kata-kata yang digunakannya. Pilihan katanya menggelorakan perasaan seorang perempuan.
***
“Ini
istana Bogor,“ kata supir taksi. Dia meminggirkan taksinya di dekat
trotoar. Sudah ada beberapa mobil berhenti. Aku belum mau turun dari
taksi. Gila! Betul kata Grace dan Mama, bahwa kemacetan di kota Jakarta
bukan lagi penyakit biasa, tapi sudah seperti kanker. Dari
Soekarno-Hatta International Airport ke Bogor memakai waktu hampir tiga
jam. Padahal jaraknya tidak lebih dari 70 kilometer. Lewat highway –
supir taksi bilang tol Jagorawi – pula! Bagaimana ini?! Aku lihat,
volume kendaraan tidak seimbang dengan beban jalan. Aku membaca di
rambu-rambu, ada istilah “tree in one”, yang kata supir taksi itu untuk
mobil-mobil pribadi. Dari supir taksi yang ramah, aku diberi tahu, bahwa
orang-orang Jakarta lebih suka keluar dari rumah memakai mobil pribadi.
Jika diandaikan sebuah keluarga mempunyai sepuluh mobil, berarti dari
mulai ayah, ibu, anak bahkan sampai pembantu akan keluar memakai mobil
masing-masing satu. Si ayah ke kantor, si ibu pergi arisan, si anak ke
kampus atau ke sekolah, serta si pembantu pergi belanja untuk keperluan
dapur. Untuk menghambat volume kendaraan, akhirnya diterapkanlah “tree
in one”, agar mobil-mobil itu berfungsi baik, mengangkut penumpang dalam
jumlah yang sesuai dengan bangku yang ada. Tapi, aku diperkenalkan lagi
dengan “joki”; orang-orang yang berprofesi sebagai penumpang “tree in
one”; untuk mensiasati peraturan itu. Wah, kreatif juga anak-anak negeri
leluhurku itu.
“Bagaimana? Mau turun?”
“Sebentar,
Pak,” kataku. Mataku melihat ke sekitar. Beberapa kendaraan berwarna
hijau – kata supir taksi, itu angkutan umum! – berhenti sembarangan
saja. Tidak peduli larangan stop atau malah lebih gila lagi, di tengah
jalan! Supir-supir itu pasti tidak berpendidikan! Berhenti menurunkan
penumpang di tengah jalan! Tidak di halte! Tubuhku lelah. Di angkasa dua
puluh dua jam! Jet lag! Stress! Ingin marah, tak bisa apa-apa. Aku ingin tidur, tapi kepalaku pusing. Huh! Dimana kau, Nicky!
Aku
melihat ke sisi kiriku. Pagar tinggi mengelilingi. Nun jauh
ditengah-tengah, di antara batang-batang pohon besar, ada sebuah istana.
Kata Nicky, itu adalah istana Bogor; tempat presiden pertama negeri
leluhurku Ir. Soekarno, beristirahat. Kata Nicky lagi diemailnya,
presiden kedua, Soeharto, tidak pernah beristirahat di istana ini. Ada
lagi yang membuatku takjub, ratusan binatang bernama rusa dengan
tenangnya berkeliaran. Bahkan beberapa ekor rusa menyembul di sela-sela
pagar. Aku lihat beberapa keluarga turun dari mobil. Anak-anak mereka
mendekati pagar dan memberi rusa-rusa itu makan. Aku jadi ingat email Nicky tentang rusa-rusa ini. Presiden keempat, Gus Dur, sering berpesta rusa di sini.
Aku rogoh saku. Aku beri tip. Supir
taksi tampak gembira sekali. Tidak ada lima puluh dollar ongkosnya!
Tidak ada masalah. Lalu aku buka pintu. Supir taksi membukakan bagasi.
Ransel North Face digeletakkan di trotoar. Aku seret dan merapat ke
dinding pagar. Beberapa orang sebayaku melintas. Ransel di punggungnya
bermerek sama dengan ranselku. Wah, hebat juga! Aku betul-betul lelah.
Aku
coba melihat ke balik pagar. Ratusan rusa bertebaran mengunyah rumput.
Di seberang pagar ada sungai pembatas. Bening airnya. Beberapa ekor rusa
turun untuk minum. Beberapa lagi menyeberangi sungai dan naik mendekati
pagar. Anak-anak dengan tawanya yang riang memberi mereka makan sayuran.
Nicky,
dimana? Di email terakhirnya, dia menyuruhku untuk menunggu di depan
istana Bogor. Di trotoar. Sambil melihat anak-anak sedang memberi makan
pada rusa. Dia akan datang memakai mobil berwarna hijau. Aku lihat tadi,
begitu banyak mobil berwarna hijau. Kata supir taksi tadi, itu
kendaraan umum. Semua yang ditulis Nicky sama persis dengan yang aku
lihat sekarang. Aku lihat jam; pukul dua belas siang! Panas! Tapi
tubuhku berkeringat; terasa segar. Sudah dua botol air mineral aku minum
habis.
Aku
mencoba memetik ranting daun dari pohon trembesi, yang menjuntai. Aku
sodorkan lenganku melewati celah pagar. Mulut rusa mengunyahnya. Asyik
juga. Di Kansas hal ini tidak pernah aku lakukan. Aku lihat di sebelah
kananku seorang gadis dengan wajah ditutup kain – kata Mama itu adalah
jilbab, pakaian khas orang yang beragama Islam- sedang membagi-bagikan
sayuran pada anak-anak. Gadis itu seumuran Grace, membawa sekantung
plastik sayur-sayuran. Walaupun aku hanya bisa melihat sebagian
wajahnya, aku merasa pasti bahwa dia cantik sekali. Di belakangnya ada
seorang junior high school, juga membagi-bagikan sayuran untuk makanan
rusa. Aku yakin, anak kecil itu adik dari gadis berjilbab.
“Mau sayurannya?” tiba-tiba saja gadis berjilbab itu sudah berdiri di depanku.
“For Free?” aku kaget.
Si gadis tersenyum, “Yap! For Free! Gratis alias teu kudu mayar!”
Aku
mengernyitkan dahi mendengar kalimat terakhir yang agak aneh di
telingaku; gratis dan teu kudu mayar! Gratis, aku tahu. Tapi, “teu kudu
mayar?”
“Sama saja artinya, for free!” dia tertawa.
Aku tersenyum, “Thanks!” Aku ambil beberapa ranting.
“Kapan datang?”
Tangan aku tarik lagi. Tapi
mulut rusa sudah memakan sayurannya. Aku lepaskan sayuran itu. Aku
tatap si gadis berjilbab. “You must be Nicky!” aku merasa surprise.
Dia tertawa.
Aku
menyodorkan tangan; bermaksud berjabatan tangan. Tapi, Nicky menyatukan
kedua telapak tangannya di dada dan tersenyum. “Selamat datang di kota
Bogor,” katanya.
Aku
gugup. Dia tidak menjabat tanganku. Apakah aku membawa penyakit
menular? Tapi, dari senyumnya, aku yakin Nicky tidak bermaksud
menghinaku.
“Pasti capek, ya?” tanyanya.
“Iya. Very tired!”
“Kenalkan, ini adikku,” Nicky mengenalkan anak kecil, yang masih membagi-bagikan sayuran ke anak-anak.
Aku tersenyum pada adiknya. Aku betul-betul kikuk.
“Ayo, kamu check in dulu!”
Aku mengangguk.
“Jalan kaki saja, ya.”
Walaupun aku capai, aku menurut saja. Aku
sandang ransel di punggungku. Aku berjalan di sisinya. Tapi Nicky
menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat. Adik lelakinya berjalan
dibelakangku; kesannya mengawal kami. Tapi Nicky asyik-asyik saja.
“Wajahmu nggak bule-bule amat!”
“Papa dan Mama asli Indonesia!”
“Iya juga, ya!”
“Adikmu…, ikut kita?”
“Yap!”
Aku menyeret kakiku, berjarak sekitar dua meter di sebelah Nicky. Kalau
berjalan bersama Grace di Kansas, lain sekali. Kami biasa berpelukan.
Bahkan berciuman bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi, dengan Nicky, yang
berjilbab. Aku merasa tidak pantas berjalan di sisinya. Aku jadi serba salah.
“Malu ya, jalan dengan aku?”
“Oh,
no, no!” Aku kaget. Aku tidak ingin jauh-jauh datang ke Bogor,
mengambang dua puluh dua jam di udara, hanya meributkan soal keyakinan
seseorang. Aku sendiri bingung, memeluk agama apa. Papa dan Mamaku tidak
pernah menyuruhku untuk memeluk agama apa pun. Aku
perhatikan saat lebaran, Papa dan Mama ikut halal bihalal di Konjen.
Begitu juga natal dan tahun baru. Agama kami berarti apa saja. Di
kampus, hampir kebanyakan agamanya, ilmu pengetahuan.
“Ayo!” Nicky memasuki sebuah rumah tua. “Murah-meriah!”
Aku
baca nama hotelnya : Wisma Pakuan – Home stay. Nyaman juga. Tidak
berisik. Aku justru menyukai penginapan seperti ini. Terasa seperti
sedang di rumah. Sepanjang hidupku, aku selalu berpindah-pindah dari
satu apartemen ke apartemen lain. Di Kansas, aku tinggal di asrama,
bersama Dave, yang kalau tidur mendengkur! Tak ada aturan apa-apa!
***
Aku
berjalan-jalan di Kebun Raya, Bogor. Ini adalah paru-paru kota. Aku suka
sekali. Di tengah kebisingan kota dengan keberadaannya yang
kacau-balau, ada hutan dengan pohon-pohonnya yang sudah tua. Nicky
berjalan disebelahku, agak menjauh seperti biasa. Dan adik lelakinya,
berjalan di belakang; mengawal kami.
“Kamu janji siang ini akan mengajakku kerumahmu.”
“Oke!”
“Sudah jam satu!”
“Tapi, aku masih betah di sini! Kebun Raya ini bagiku seperti surga. Aku lupa dengan segala masalah yang ada di kotaku ini.”
“Tapi, kemarin kamu janjinya hari ini.”
“Kenapa kamu begitu ingin kerumahku?”
“Lantas, untuk apa pula aku terbang selama dua puluh dua jam dari Kansas ke sini?”
“Mengisi summer holiday-mu!”
“Aku bosan! Selama dua hari ini hanya melihat rusa Bogormu dan kebun Raya ini! Ditemani adikmu pula!”
“Aku
tidak menyuruh kamu ke sini, lho,” Nicky tersenyum. “Kamu yang
menginginkan liburan musim panasmu di sini. Aku hanya jadi guide saja.”
Aku
duduk di bangku. Meminum air mineral. Angin sepoi menyejukkan hati.
Mungkin aku sudah sinting. Jauh-jauh datang ke Bogor dari Kansas, hanya
untuk melihat rusa Bogor dan kebun Raya. Tapi, Nicky semakin jadi magnet
buatku. Semakin aku ingin pulang ke Kansas, semakin aku tak ingin
meninggalkan Bogor. Ada yang kukagumi dari diri Nicky, yaitu keteguhan
hatinya. Dia membuatku kagum dan harus menghormati atas segala sikapnya.
Dia sama sekali tidak mau aku sentuh, walaupun hanya bersalaman atau
untuk aku seberangkan, jika lalu-lintas sedang padat. Zebra cross di sini tidak jadi jaminan orang akan nyaman dan aman menyeberang. Tapi, Nicky lebih memilih meminta tolong adiknya.
Sore
hari, dengan naik mobil berwarna hijau, yang ternyata lelucon Nicky,
bahwa mobil itu memang angkutan umum, kami sampai di rumah Nicky.
Rumahnya ada di bawah, di celah lekukan antara dua bukit. Kota Bogor ini
berada di kaki gunung Salak. Rumahnya berhimpitan dengan rumah-rumah
yang lain, tapi tidak terasa sesak. Banyak tanaman hias bergantungan
dari tiang-tiang rumah. Kecil dan mungil. Halamannya tidak luas, hanya
sekitar dua meteran.
“Mana orang tuamu?” tanyaku, karena rumahnya kosong. Hanya ada adiknya saja.
“Ayah dan ibuku sudah tidak ada. Kami hanya hidup berdua,” suaranya riang saja.
Aku terpana, “Kalian hidup berdua?”
“Iya.”
Adiknya muncul membawa dua gelas minuman teh manis panas.
“Bagaimana kalian membiayai hidup?”
“Kami dapat beasiswa. Aku juga nyambi jadi guide. Setiap aku berhasil membawa tamu menginap, aku mendapat komisi.”
Aku
tercengang. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Pertemuanku dengan Nicky
membuatku seperti berada di dunia lain, yang tidak pernah aku rasakan.
Ada nilai-nilai yang selama ini aku abaikan. Nilai kemanusiaan yang
utuh, yang tak pernah aku rasakan di Kansas, bersama teman-teman di
kampusku. Bersama dengan Grace, pacarku. Bahkan bersama Papa dan Mama. Uang begitu mudah aku peroleh dan aku hambur-hamburkan sesuka hati.
Saat
pesawat lepas landas dari Soekarno-Hatta International Airport,
perasaanku tak bisa aku gambarkan. Sulit untuk aku ceritakan pada
kawan-kawanku di Kansas tentang segala yang aku lakukan bersama Nicky.
Juga pada Papa dan Mama. Begitu berat meninggalkan Bogor. Begitu berat
meninggalkan Nicky. Aku tidak tahu, apakah ini cinta? Ah, terlalu pagi.
Yang hanya bisa aku ingat dari Nicky adalah keriangan dan kesederhanaan
serta harga dirinya yang tinggi. Begitulah seharusnya seorang wanita, dia harus seperti pualam. Mahal dan tidak bisa sembarangan disentuh.
Diambil dari buku antologi cerpen berjudul “Addicted 2 U” yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena.
Dapatkan bukunya dan ikuti cerpen-cerpen pilihan karya Asma Nadia, Gola Gong, Hilman dan lain-lain.
0 comments:
Post a Comment