“Tell me whom you love and
I will tell you who you are
Will you be my valentine?”
Meti
meremas secarik kertas tanpa dosa di genggamannya. Tulisan cantiknya
yang mengisi ruang kecil lembaran putih itu berkerunyut kusut.
Valentine! Valentine! Huh! Kapan dia akan mendapat memo cinta seperti
itu dari seorang pangeran impiannya? Seperti Rosa, seperti Pupuy, Lula,
atau Sarah. Mereka semua sudah punya pacar dan segudang rencana menjelang hari kemerdekaan cinta, 14 Februari itu. Bahkan, sejak minggu-minggu ini, sebelum angka-angka di kalender Januari menunjuk nilai tertinggi.
Memang, di antara lima sekawan, bukan dia sendiri yang belum punya pacar. Pupuy dan Lula masih sorangan wae dan mereka menikmati kesendirian mereka. Tapi, untuk hari Valentine nanti, mereka sudah punya pasangan untuk teman ngedate
di pesta-pesta romantis milik orang-orang yang penuh cinta. Itu istilah
mereka. Sementara Meti? Gadis itu melirik sosoknya di kaca etalase toko
buku megah itu. Separah apa wajahnya hingga tak ada seorang pun pria
berminat padanya? Untuk sehari saja sekalipun. Dada Meti menyesak.
Kotak
empat persegi yang dipenuhi kartu-kartu bergambar hati dan merpati
berwarna pink di depan pintu utama berjubel pengunjung. Semua hampir
gadis-gadis belasan tahun. Meti berjalan menghindar.
“Nah, lho, ketangkap sekarang!”
Jantung
Meti berdebam-debam seketika. Menghentak-hentak dadanya. Wajahnya
memucat tanpa setetes darah mengisi pembuluh di muka bulatnya itu. Dua
gadis semampai berseragam abu-abu putih berdiri di hadapannya. Terkikik
dengan tawa khas mereka. Rosa dan Pupuy.
“Mau cari kartu, ya? Bocoran
buat bikin janji, ya? Sama siapa? Ronnie?” selidik Pupuy antusias.
Cengirannya melatari semua pertanyaan interogasinya itu.
”Wah, iya, pasti Ronnie, nih! Dengar-dengar dia belum ada gandengannya, tuh! Ayo, dong, Met, nanti keduluan orang tahu rasa, lo!” Rosa mengompori.
”Apaan,
sih!” tidak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini tensi Meti memang cepat
sekali melonjak. Meggelegak berbusa-busa. Persis air mendidih bersuhu
seratus derajat celsius yang bisa mematikan kuman-kuman. Terlebih jika
itu menyangkut Ronnie.
”Marah,
nih, ye! Ingat, lho, valentine gak ada istilah ngomel, musti
sayang-sayangan. Termasuk sama temen. Tul, kan, Puy?” Rosa tersenyum
dikulum. Sebelah matanya berkedip nakal.
”Valentine apaan, aku nggak ngenal, tuh, budaya barat jelek kayak gitu. Nggak ada manfaatnya lagi,” cetus Meti ketus.
”Siapa
bilang jelek? Asyik lagi! Kita bisa bebas mengungkapkan rasa sayang
kita pada semua orang tanpa rasa malu atau bersalah. Hari itu, kan hari
kasih sayang. Kasih coklat, kasih bunga, pokoknya ungkapan cinta dan
nggak ada orang yang berhak melarang,” Rosa bereaksi cepat. Pupuy
terkikik di belakangnya. Dua macan di gank mereka sudah siap bertarung.
Salah satu harus dilarikan sebelum seisi hutan kocar-kacir dibuatnya.
”Budaya seperti itu, kan, tidak Islami,” sergah Meti.
”Memangnya dalam Islam nggak ada cinta dan kasih sayang, ya?!”
”Nggak. Yang dikatakan dengan coklat bergelatin lemak babi, mawar merah, dan pesta–pesta gala murahan tidak ada!”
”Stop!
Sudah, sudah, jangan berkelahi di sini. Kasih sayangnya hilang lagi
nanti. Yuk, Ros, kita duluan. Darah tinggi Meti lagi kumat, tuh!
Mengalah sajalah, setidaknya untuk hari ini sampai Valentine
nanti,”Pupuy menggamit pinggang Rosa. Menariknya meninggalkan Meti yang
masih menyimpan kedongkolan di hatinya.
”Sorry,
Met!” Pupuy masih menyempatkan menghadiahkan ciuman sekilas di pipi
Meti, menimpa sebagian batas kerudung di wajahnya. ”Kita duluan, nih,
nggak apa-apa, kan?”
Pupuy
yang bijak. Batin Meti. Wasit yang baik dalam komunitas lima makhluk
terunik di bumi ini. Tanpanya, tidak akan mungkin mereka utuh sampai
hari ini. Pertengkaran demi pertengkaran kerap membayangi persahabatan
mereka, terutama karena darah panas Meti yang gampang terpancing. Pupuy
yang selalu menengahi. Membawa kesejukan. Membawa perekat untuk mereka
berlima.
Dan
Rosa, dia yang paling tomboi. Hampir tak ada nilai keperempuanan pada
diri anak itu. Tapi anehnya, masih juga ada makhluk bernama cowok yang
tertarik pada rambut cepak dan raut keras wajahnya. Meti mendesah. Dia
feminin, setidaknya itu yang dia rasa. Berjilbab lagi! Banyak cowok suka
perempuan berjilbab. Lebih anggun, lebih beraura, lebih kelihatan suci.
Ho … ho … meski itu seharusnya milik mbak-mbak yang jilbabnya menyapu
dada dan punggungnya. Meti, sih, ditiup angin saja, ujung jilbabnya
berlarian. Membuka sekilas kuduknya yang bersih tak tersentuh matahari.
Tapi apapun, Meti tetap berkerudung. Dengan baju full pressed body dan celana cordoray sekalipun.
Atau jangan-jangan selembar kain di kepalanya itu yang membentenginya
dari tangan laki-laki. Tidak ada yang mau dengannya? Tidak laku? Hiii ….
Membayangkan semua itu Meti bergidik sendiri. Benarkah?
Bisa saja Ronnie tidak suka dengan perempuan berkerudung. Lebih suka
gadis-gadis yang berambut indah terurai seperti bintang iklan sampo di
televisi. Lho, kok, Ronnie? Meti menangkap kembali hatinya yang mulai
melangkah pergi lagi. Ya, kenapa Ronnie?
Entahlah,
namun bulan-bulan terakhir jantung Meti selalu berdegup sepuluh kali
lebih kencang jika mengingat makhluk yang satu itu. Apa lagi mendengar
namanya di sebut. Apa lagi bersirobok dengannya. Seperti udang yang
dicelupkan ke air mendidih, pasti. Merah padam. Tanda-tanda apa?
Benarkah dia naksir Ronnie, seperti kata sebuah majalah remaja yang
kerap dia baca? Suka curi pandang, suka ngomongin, gampang panas dingin, corat-coret namanya di mana-mana, ngelamunin, salah omong, juga jadi manusia paling majnun di dunia. Duhai ….
”Cinta
itu fitrah manusia, namun kita harus bisa menempatkannya pada suatu
keadaan yang dilegalkan Allah. Islam telah mengatur semua itu.
Memberinya kemudahan dengan pernikahan …” Tidak sama persis kalimatnya,
namun Meti ingat, pernah membacanya di sebuah situs Islam lokal.
Menikah? Tidak boleh pacaran sebelumnya? Nggak ku … ku …!
Gedubrak!
Meti mengelus jidatnya. Senyum sipunya mengembang. Lebih mirip meringis sebenarnya. Etalase buku ditabraknya dengan sukses.
”Nggak apa-apa, Mbak?” seorang gadis pramuniaga menghampirinya.
”Oh, ehm, nggak!” Meti tergagap. Tangannya masih memegangi jidatnya. Lumayan sekali.
”Nggak sakit?”
Meti menggeleng, ”Maaf, ya, saya benar-benar nggak sengaja.”
Dengan malu-malu, diiringi tatapan beberapa pengunjung, Meti berlalu. Menghampiri eskalator dan menaikinya hingga lantai dua.
***
”Satu
kelompok dengan Ronnie?” batin Meti sambil memandangi selembar kertas
berisi daftar nama kelompok-kelompok praktikum biologi minggu depan.
”Nah, tertangkap!” Rosa menepuk dua bahu Meti sekeras-kerasnya. Matanya segera bergabung pada lembaran kertas di tangan Meti.
”Satu
kelompok dengan Ronnie, ck, ck, boleh juga!” decaknya ketika menemukan
nama Ronnie terpampang sebagai ketua kelompok Meti. ”Hoi, girls, Meti gabung dengan Ronnie!” teriaknya sadis kepada teman-teman lain.
Ronnie
yang tengah menulis di bangkunya mendongak. Meti memerah. Sedetik
kemudian memutih kapas. Lesu. Jantungnya kumat lagi. Terlebih melihat
Ronnie ada disitu.
”Jadi valentinan?” tanya Lula yang memang sedikit gagap daya tangkapnya.
”Iya,” angguk Rosa tanpa memedulikan keadaan Meti yang nyaris pingsan.
Meti
tiba-tiba menemukan satu mata pedang menusuk hatinya. Kilat mata milik
Ranti yang duduk di deretan paling depan. Satu-satunya gadis berjilbab
lebar di kelasnya. Yang paling getol mengajaknya ngaji setiap
Jumat siang di musala sekolah. Dia ibarat malaikat yang selalu mengawasi
gerak-gerik Meti. Menegurnya tanpa segan-segan. Dan Meti tidak suka
itu. Sok tahu.
Dengan
sedikit menata hatinya, Meti pergi menjauh. Ini jalan yang terbaik
sebelum pertengkaran terjadi. Di depan malaikat Ranti dan di depan si
Romeo Ronnie, Meti tak mau merusak imejnya. Jaim sedikit untuk kemaslahatan yang lebih banyak.
Di
sudut sekolah, Meti meluruskan punggungnya. Memeluk kedua lututnya.
Ronnie bahkan tak bereaksi tadi. Sebegitu parahkah aku? Keluhnya.
Tanggal empat belas sudah di depan mata. Anak-anak gaul kelasnya sudah
ribut. Dan apakah Meti akan merana sendirian di kamarnya, pada hari
penuh makna itu? Meti menatap bayangannya yang jatuh di antara
kerikil-kerikil putih yang tertata rapi di hadapannya. Selembar daun
flamboyan kering terbang bebas di udara dicerabut angin dari tangkainya.
Merana. Meti mendesah.
***
”Legenda
lain bercerita tentang seorang pendeta Katholik dari abad III bernama
Valentinus yang dijebloskan ke penjara dan dihukum mati oleh Kaisar
Claudius karena ingin menyebarkan agamanya. Selama di penjara,
Valentinus tetap memegang teguh imannya dan diceritakan bersahabat
dengan putri sipir penjara. Ketika akhirnya Kaisar menghukum mati
Valentinus pada 14 Februari 269, ia menulis surat bertuliskan from your valentine kepada anak sipir penjara sebagai tanda mata terakhir.
Seiring
dengan berjalannya waktu, cerita tentang Valentine ini berkembang dalam
berbagai versi. Namun orang biasanya lebih memfokuskan pada kisah
romantis di belakangnya. Ada yang mengatakan bahwa Valentine
sesungguhnya jatuh cinta pada anak sipir penjara itu, dan surat yang
diberikannya sebagai tanda mata terakhir merupakan awal dari tradisi
menulis surat cinta di antara pasangan kekasih …”
Meti
menggarisbawahi kata-kata seorang pendeta Katholik pada artikel sebuah
majalah remaja di tangannya. Bibirnya mengerucut. Shiba, boneka beruang
birunya, dihempaskan begitu saja ke lantai.
Meti tahu cerita itu dari dahulu. Hafal
di luar kepala bahkan. Versi Romawi, Prancis, Inggris, Wales, Itali,
Jerman, Amerika Utara, bahkan sampai cerita gadis penenun di Cina. Dia
juga tahu, itu bukan tradisi Islam. Tapi jika cinta menghampiri, siapa
yang kuasa mengelaknya? Semua temannya mengharap valentine tiba.
Mengungkapkan rasa cintanya pada pujaan mereka. Bahkan lebih luas lagi.
”Nggak harus kekasih, pada bonyok, adik, kakak, saudara, bahkan si bibi atau mamang sopir bisa saja diungkapkan. Pokoknya hari itu harus full senyum, deh!” kata Pupuy dengan bijaknya.
Meti
tersenyum. Dia sudah membacanya di majalah remaja khusus cewek edisi
valentine yang terbit minggu ini. Semua yang berbau perayaan pink itu dikupas habis. Tips mau kencan, kado-kado istimewa, baju-baju yang cocok, wah, komplet.
”Met,
ada telepon, tuh!” panggil Mamah dari ruang tengah. Telepon? Sepertinya
tadi dia tidak mendengar deringnya. Meti kian pusing. Mengapa jadi
begini? Dia melihat sekilas kalender di atas rak bukunya. Tanggal
sebelas Februari.
”Makasih, Mah!” seru Meti sambil mengangkat gagang telepon.
”Ranti,” jelas Mamah tanpa ditanya.
Meti
berubah. Mengganti nada bicara yang sudah di ujung lidahnya. Tadi, dia
sangat berharap, semoga saja yang meneleponnya … Ronnie!
”Meti, bisa bantu kami nggak, buat ngurusin diskusi khusus bulan ini? Kebetulan kami lagi kekurangan orang di kepanitiaan, nih!” kata Ranti setelah berucap salam.
”Kapan?”
”Tanggal empat belas, dari asar sampai ba’da magrib.”
Tanggal empat belas? Pesta Valentinan gengnya.
”Bisa,
ya? Soalnya kami benar-benar butuh orang. Diskusi kali ini rada
spesial, pembicaranya saja Ustad Zakaria yang ngetop itu,” pinta Ranti
penuh harap.
Meti menggaruk kepalanya. ”Aku nggak yakin, sih, tapi nanti aku usahain!”
Malas, Meti menutup teleponnya. Ke musala atau gabung dengan teman-temannya, ya? Kalau gabung dengan Pupuy cs bisa-bisa dia dicengin
habis, jika hadir tanpa pasangan. Biarpun mereka membolehkan datang
dengan saudara, tapi malu, dong, sementara mereka semua dengan pangeran
masing-masing. Jangan-jangan dikira nggak laku!
***
Ini
hari termemuakkan bagi Meti, sebenarnya. Hari-hari yang panjang telah
dia lewati dengan penuh kecemasan dan kebimbangan. Ronnie tidak pernah
bercakap dengannya kecuali saat praktikum biologi di lab. Sedikitpun tak
ada harapan baginya. Segalanya terasa gelap.
Ah! Meti nyaris tak percaya melihat daftar surat yang ada di inbox-nya. Ya, internet obat stres paling mujarab untuk Meti. Dia bisa bermain ke mana saja dia suka.
Ronnie
Alam Bhuana. Meti mengucek matanya. Nggak salah? Segera dibukanya surat
berisi bom waktu yang siap meledakkan dadanya itu.
Singkat. Pendek saja isinya.
Tell me whom you love and
I will tell you who you are
Will you be my valentine?
Ronnie
Napas
Meti memburu. Tidak salahkan penglihatannya? Pangerannya telah datang
di saat-saat kritis hampir menjelang. Sesaat jemarinya bergetar. Lupa
untuk me-replay surat bersejarah ini. Angannya bermain-main di
atas langit-langit kamar. Baju apa yang akan dia kenakan? Memakai
lipstikkah? Parfum apa yang cocok? Semuanya berputar dalam kerut merut
otaknya. Dan mestikah dia mengenakan jilbabnya? Angan Meti terbanting
membentur dinding. Ya, bagaimana dengan jilbabnya?
***
Meti berputar sekali lagi di depan cermin. Kulot merah tua, gamis selutut warna pink
yang manis dihias renda-renda di ujung lengan dan ujung bawah, juga
jilbab mungil warna senada yang dipasang gaya. Bibirnya disapu usapan
tipis lipstik merah muda. Meti tampak berbeda. Dia tersenyum. Baru dia
sadari kini, sebenarnya dia memiliki sisi kecantikan yang selama ini
tersembunyi.
”Duh,
yang mau valentinan …!” ledek Mamah ketika Meti keluar dari pintu
kamar. Gadis itu tersipu, ”Jangan sampai malam, ya, Met.”
”Oke, deh!” sahut Meti mantap.
Dia menatap jam yang terpasang di dinding. Hampir setengah empat. Ronnie berjanji menjemputnya tepat setengah empat.
”Tuh,
kan, Met, meski pakai jilbab kamu tetap bisa tampil gaya dan mengikuti
tren,” cetus Mamah yang menjajari Meti. Dulu Mamahlah yang mendorong
Meti untuk berjilbab. Katanya, nenek ingin cucu perempuan satu-satunya
berkerudung setelah akil baligh. Maklum, kakek dan nenek kan, Haji!
Mamah sendiri kalau pergi biasanya berkerudung. Kerudung gaya.
Hampir jam empat. Meti mulai gelisah. Masa, sih, kencan pertama telat. Nggak punya sopan santun.
Telepon berdering. Meti nyaris melompat menyambar gagang telepon warna hitam itu.
”Apa?!” dia nyaris tak percaya.
Wajahnya berubah.
“Baik, nggak apa-apa, kok. Bye!” Meti menutup telepon.
Mamah yang memperhatikan semua itu menatapnya heran.
Meti melangkah gontai ke kamarnya.
”Ada apa, Met?” kejar Mamah.
”Pestanya batal,” sahut Meti ketus.
”Lho?!”
”Ronnie lupa kalau hari ini dia punya acara dengan keluarganya.”
”Kok gitu?”
”Udah,
ah, Mah. Meti mau tidur aja,” Meti merajuk. Hatinya hancur
berkeping-keping. Yah, ternyata dia memang tidak berharga. Nggak ada
orang yang cinta sama dia. Karena dia buruk rupa, karena dia berat
badannya empat kilo lebih banyak dari bobot idealnya. Meti memperkuat
bendungan air di matanya. Dia tidak mau menangis di depan Mamah.
Meti meremas-remas Shiba hingga bulu-bulunya berantakan. Tak peduli baru di-laundry
dua hari lalu. Air matanya berlelehan membasahi pipinya yang tersapu
bedak. Bayang daun-daun palem di luar jendela melindunginya dari sinar
hangat matahari sore.
Menit
demi menit berlalu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Diliriknya weker di
atas meja sekilas. Tergesa, disambarnya tas di sampingnya. Setengah
berlari dia melintasi ruang tengah.
”Mau ke mana, Met?” tanya Mamah yang tengah membaca di sofa.
Meti tidak melihatnya, ”Valentinan!” sahutnya.
”Katanya tadi?” Mamah mengernyitkan keningnya.
”Di musala sekolah ada diskusi tentang valentine, Mah,” jelas Meti,”Daripada di rumah, bete.”
Mungkin diskusi telah dimulai, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa daripada tidak sama sekali. Meti
membuka pintu taksi dengan hati lapang. Ke mana dia selama ini, ya
Allah? Meti tahu, belum sepantasnya dia mencintai manusia sebelum dia
mampu mencintai Allah dengan seluruh jiwanya. Dia bersyukur Ronnie tak
datang. Setidaknya dia masih diingatkan setelah selama ini terbuai
dengan kehidupan yang ditawarkan sahabat-sahabatnya.
Lampu
merah menghadang laju taksi yang ditumpangi Meti. Jalanan sore tak
pernah sepi dari macet. Tiba-tiba Meti tersenyum. Hidup itu seperti
jalan raya, harus taat peraturan jika ingin selamat. Coba saja jika
lampu merah diterobos, bisa hancur tubuhnya diserbu ratusan mobil yang
tengah melintas juga.
Dia
ingat Pupuy, Rosa, Lula, yang harus dia tinggalkan. Ya, harus. Namun,
suatu saat Meti berjanji akan kembali. Karena, dia mencintai mereka dan
dia ingin berbagi dengan mereka tentang makna sebuah cinta yang lebih
berharga dari sebatang coklat. Cinta pada Allah. Pada-Nya kita takkan
kecewa.
***
Diambil dari buku kumpulan cerita berjudul ”Kidung Kupu-Kupu Putih”.
0 comments:
Post a Comment